17 Agustus 2013

REFLEKSI 17 AGUSTUS
REFLEKSI 17 AGUSTUS - Setiap momentum 17 Agustus kita tidak pernah bosan untuk terus mengingatkan, meluruskan, dan menginstruksikan kepada setiap anak bangsa ini untuk meluruskan pernyataan “17 AGUSTUS SEBAGAI HUT REPUBLIK INDONESIA (RI)” menjadi “17 AGUSTUS SEBAGAI DIRGAHAYU/HUT PROKLAMASI KEMERDEKAAN BANGSA INDONESIA (PKBI)”.

Alasannya pun sudah dijelaskan berkali-kali bahwa pernyataan “17 Agustus sebagai HUT RI” merupakan pernyataan yang AHISTORIS karena teks Proklamasi tidak ada kata “Republik Indonesia”. Yang ada ialah “Bangsa Indonesia”

Memang bagi sebagian besar orang menganggap hal tersebut merupakan hal sepele dan sama sekali tidak berpengaruh pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi bagi kaum yang BERFIKIR setiap pernyataan ada makna, ada maksud, ada tujuan, dan ada dampak. Secara ilmu Linguistik, dijelaskan setiap pernyataan (bahasa) memiliki aspek Kognitif, Psikologi, dan Antropologi.

1. Aspek Kognitif
Pernyataan “17 Agustus sebagai HUT RI” jika dilihat dari aspek kognitif (kecerdasan yang berkaitan dengan akal) mengandung bahwa si pembuat pernyataan atau orang yang menyatakan sangat lemah daya kognisinya. Otak kiri dan otak kanan dari orang tersebut tidak mampu bekerja secara maksimal sehingga orang tersebut mudah lupa atau cenderung meniru (ikut-ikutan) dari banyak orang. Sangat ironis memang, jika dari tingkatan Pejabat Negara sampai dengan tingkatan masyarakat dan dari baliho di istana sampai dengan gapura jalan masih menggunakan “17 Agustus sebagai HUT RI” dalam kalimatnya. Padahal kebanyakan dari mereka adalah orang-orang berpendidikan dan ada juga para sejarawan serta pakar hukum tata Negara. Apakah dari mereka tidak dapat membaca teks Proklamasi atau memiliki kelemahan dalam daya kognisinya sehingga cenderung lupa dan meniru kebiasaan yang sudah ada.

2. Aspek Psikologis
Pernyataan “17 Agustus sebagai HUT RI” merupakan pernyataan yang dirumuskan oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) supaya bangsa ini menjadi bangsa budak selamanya. Karena ketika pernyataan “17 Agustus sebagai HUT RI” dikukuhkan dalam mukadimah UUDS 50 seakan-akan filosofi kita berubah dari Bangsanya dulu terlahir baru Negara dibentuk menjadi Negaranya dulu terbangun baru bangsanya terlahir. Dan selama filosofi itu ada, selama itu pula bangsa Indonesia menjadi bangsa terjajah selamanya. Dalam aspek psikologis, orang yang menghina dirinya sendiri dengan menyatakan “17 Agustus sebagai HUT RI” memiliki kelemahan jiwa. Atau orang tersebut bermentalkan budak (hamba sahaya) yang menjadi jongosnya bangsa lain. Orang yang seperti ini cenderung memiliki karakter hipokrit yang luar biasa.

3. Aspek antropologis
Aspek Antropologis mengarah pada peradaban manusia/bangsa. Dan aspek ini merupakan dampak atau akumulasi dari perpaduan antara aspek kognitif dan psikologis. Ketika kognitifnya lemah dan psikologisnya terganggu maka rendahlah peradaban manusia/bangsa tersebut. Dengan pernyataan “17 Agustus sebagai HUT RI menandakan rendahnya peradaban bangsa Indonesia. Pada saat mana terjadi rendahnya peradaban (low civilization) maka akan diambang kepunahan bangsa tersebut. Ciri-ciri rendahnya peradaban di suatu kaum dalam sejarah peradaban manusia dibelahan dunia manapun ditandai dengan adanya krisis etika, moral, penegakan hukum, social, politik, ekonomi, keadilan, kewibawaan lembaga Negara, kepemimpinan, terjadinya perebutan SDA antar daerah atau kelompok, terjadinya sentiment kedaerahan, dan adanya perpecahan dari masing-masing kelompok/golongan/daerah. Mungkin hanya orang-orang yang tidak waras yang mengatakan tidak terjadi krisis tersebut di bangsa kita.

Ketiga aspek diatas merupakan alasan secara ilmu pengetahuan (ilmiah) mengapa kita tidak boleh menyatakan “17 Agustus sebagai HUT RI”. Secara hakikat (ilmu Agama) yang bersifat absolute setiap pernyataan mengandung “doa”. Setiap ucapan (doa) tidak ada yang tidak terwujud/terjadi, semuanya akan terjadi hanya saja tinggal perkara waktu. Maka dari itu kita mendapat larangan untuk tidak mengucap (doa) yang buruk (negative). Dampak ketika diucapkannya pernyataan “17 Agustus sebagai HUT RI” dengan berulang-ulang dan dengan banyak orang maka pernyataan (doa) yang bersifat negative yang disampaikan untuk bangsa ini. Lalu, apakah doa yang negative kepada bangsa ini itu terjadi saat ini ? Jawabannya cukup kita lihat dengan menggunakan aspek antropologis saja. Dimana dalam aspek tersebut mengindikasikan rendahnya peradaban bangsa Indonesia beserta ciri-cirinya.

Source : kompasiana.com

Sekian informasi yang dapat saya sampaikan kali ini, dirgahayu Indonesiaku
terimakaih

0 Response to "17 Agustus 2013"

Posting Komentar